Kekuasaan Allah Pada Lalat




Semua kita niscaya tahu, apa itu lalat! Ya, ia seekor makhluk Allah Swt yang dikenal suka hinggap di tempat-tempat yang jorok dan banyak membawa penyakit/kuman. Sekalipun begitu, ia ada disebutkan di dalam al-Qur`an dan juga hadits nabawi. Lantas, apa keistimewaannya, sehingga Allah subhanahu wata’aala menyebut dan menyinggungnya? Adakah hikmah di balik itu? Bagaimana kedudukannya di dalam hadits nabi shallallahu ‘alahi wasallam? Adakah pernyataan ilmiah yang menunjukkan keistimewaannya? Melalui halaman yang singkat ini, Insya Allah subhanahu wata’aala kita akan menyinggung secara ringkas tema-tema tersebut.


Lalat yang di dalam bahasa Arabnya, “adz-Dzubab” disinggung dalam satu ayat, yaitu ayat 73, surah al-Hajj. Allah subhanahu wata’aala berfirman, artinya, “Hai manusia, telah dibentuk perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kau seru selain Allah sekali-kali tidak sanggup membuat seekor lalat pun. Walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan kalau lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka sanggup merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS.al-Hajj: 73)


Dalam ayat ini terdapat usul biar bertauhid kepada Allah Swt dan kecaman terhadap kesyirikan dan orang-orang Musyrik. Sebagaimana dinyatakan Ibn Katsir rahimahullah dalam ayat ini Allah Swt mengingatkan betapa hina-dinanya berhala-berhala itu dan betapa piciknya nalar para penyembahnya.


Apa yang disembah orang-orang jahil dan musyrik itu diberi perumpamaan dengan sesuatu yang hina, yaitu seekor lalat. Bahwa sekalipun semua sesembahan mereka yang berupa berhala-berhala dan patung-patung itu berkumpul untuk membuat seekor lalat saja, benda-benda mati itu tidak akan pernah bisa melakukannya. Padahal apalah arti seekor lalat; makhluk yang sangat hina dan jorok. Bahkan, jangankan menciptakan, bila ada seekor lalat merampas sesuatu dari tubuhnya, berhala-berhala itu tak bisa untuk melindungi diri sendiri. Makara alangkah lemah dan hinanya berhala-berhala itu, bilamana seekor lalat yang dikenal lemah dan jorok justeru lebih berpengaruh darinya. Karena itu, keduanya sama-sama lemah, baik lalat maupun berhala-berhala itu.


Syaikh Abu Bakar al-Jaza`iri mengatakan, “Dibuatnya permisalan dengan seekor lalat itu merupakan sesuatu yang baik dalam bahasa Arab, lantaran sanggup lebih mendekatkan kepada pemahaman.”


Allah subhanahu wata’aala menyebutkan sesuatu di dalam al-Qur`an bukan asal sebut. Pasti ada nilai lebih dari apa yang disebutkan itu. Contohnya, Allah Swt banyak bersumpah dengan makhluk ciptaan-Nya ibarat matahari, waktu Dhuha, dan seterusnya. Itu semua lantaran apa yang dijadikan objek sumpah itu mempunyai nilai lebih di sisi Allah subhanahu wata’aala. Dan terbukti secara ilmiah kemanfaatannya bagi alam semesta ini, tak terkecuali penyebutan seekor lalat.


Lalat di Dalam Hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam.

Bilamana di dalam al-Qur`an hanya disebutkan dalam satu ayat saja, maka di dalam hadits Nabi Saw penyebutannya lebih banyak. Salah satunya, terkait dengan adanya ‘dualisme’ dalam diri lalat itu. Artinya, di satu sisi pada dirinya itu terdapat racun, namun di sisi yang lain justru sebagai penawarnya yaitu yang ada pada kedua sayapnya.

Di antara hadits-hadits itu ialah sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah  Saw bersabda,“Jika lalat terjatuh di minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah ia, kemudian lepaskanlah (buanglah), lantaran pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lainnya terdapat obat (penawar).” (HR. al-Bukhari)

Sepintas, hadits ini bagi kelompok yang berlebihan dalam mengkultuskan akal, ibarat kelompok Mu’tazilah dan para Orientalis, hadits ini dianggap irrasional (tidak masuk akal). Sebab berdasarkan nalar mereka, bagaimana mungkin sanggup diterima kenyataan bahwa lalat yang menjijikkan itu mempunyai penyakit (racun) sekaligus obat (penawar). Apalagi bila ia terjatuh pada minuman, maka harus dibenamkan semua badannya biar minuman tersebut sanggup dikonsumsi lagi dan tidak membahayakan. Sungguh menjijikkan. !!

Tetapi realitasnya, hadits tersebut dari sisi kualitasnya ialah hadits yang shahih. Karena itu, tidak ada daerah dan alasan untuk menolaknya, lantaran yang mengucapkannya ialah Nabi Muhammad Saw yang tidak menyampaikan sesuatu kecuali berdasarkan wahyu Allah subhanahu wata’aala (QS. an-Najm:3).

Bagi orang beriman, bilamana telah terbukti secara valid dan berpengaruh keshahihan kualitas suatu hadits, maka terlebih dulu ia harus meyakini kebenarannya, terlepas apakah ada hikmah di balik itu ataukah tidak! Hadits ini termasuk mukjizat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dari sisi ilmiah. Lalu, apakah memang terbukti secara ilmiah demikian.?




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel